Selasa, 02 Juni 2009

Pendidikan Antikorupsi Dan PBL Plus

Korupsi sudah diakui sebagai kejahatan luar biasa dan penyakit paling membahayakan bagi Indonesia. Bersama kolusi dan nepotisme, korupsi bahkan secara tepat ditempatkan sebagai akar dari semua masalah bangsa (Kwik, 2004).

Masalahnya, hingga kini tidak tampak adanya kesadaran publik tentang KKN sebagai akar masalah bangsa tersebut. KKN hanya dipahami sebagai salah satu saja dari sekian banyak masalah bangsa. Padahal, seandainya kesadaran ini timbul pada critical mass secara metodis, efek bola saljunya akan membawa perubahan signifikan bagi pencepatan pencapaian tujuan konstitusional bangsa.

Salah satu faktor penting bagi muncul tidaknya kesadaran publik adalah tersedianya publikasi informasi yang memadai, baik dalam hal substansi, pengemasan, maupun penyampaiannya. Secara substansial, kesadaran publik tentang KKN sebagai akar masalah terkamuflase oleh banyak masalah lain yang-–karena kemasan dan penyampaian publiknya--tampak lebih atau sama penting. Mungkin ini suatu kesengajaan karena pertimbangan lain atau sekadar ketiadaan pengetahuan. Yang patut diindahkan adalah kedua kemungkinan ini merugikan warga bangsa.

Pemahaman yang tepat dan metodis mengenai akar masalah itu, oleh seluruh anak bangsa, merupakan langkah strategis untuk membebaskan Indonesia dari korupsi serta mengatasi banyak masalah di ujung-ujung lain dari akarnya. Langkah strategis ini, yang semula di dalam ranah kognitif, perlu dikemas dalam sistem perubahan perilaku positif yang terencana yakni pendidikan antikorupsi, yang ditujukan bagi seluruh generasi anak bangsa, dengan mahasiswa sebagai prioritas.

Pendidikan antikorupsi yang dimaksud adalah cara berpikir dengan dua komponen pokok sebagai kesatuan. Pertama, cara berpikir yang berangkat dari masalah nyata yang dihadapi bangsa dalam skala besar ataupun kecil. Kedua, cara (methodos) berpikir yang menelusuri masalah dari pucuknya hingga didapat akar penyebab. Dengan penelusuran akar penyebab, analisis metodis seperti ini akan sampai pada solusi yang mengakar atau mendasar.

PBL

Untuk memenuhi maksud tersebut dibutuhkan metode pembelajaran yang sesuai. Metode pembelajaran yang dipicu dengan masalah faktual dan kontekstual dalam realitas kehidupan nyata, atau disimulasikan, dikenal sebagai PBL (problem-based learning) atau pembelajaran berdasarkan masalah. PBL semula dikembangkan di Kanada dan AS sejak 30 tahun lalu dalam pembelajaran ilmu kedokteran dan lalu keperawatan.

PBL dengan beberapa variannya lalu diterapkan pada pembelajaran banyak bidang ilmu lainnya. Lima tahun terakhir, perguruan tinggi di Indonesia dilanda demam PBL. Banyak website perguruan tinggi 'mengiming-imingkan' penggunaan metode PBL. Ada kesan, seakan-akan dengan menggunakan PBL ini, kualitas pembelajaran dan, akhirnya, kualitas lulusannya dijamin meningkat secara berarti. Padahal, efektivitas metode ini hingga kini masih terus dan harus dikaji.

Jika mengingat pengetahuan terkonstruksi dalam konteks dan habitus tertentu, penerapan PBL di luar itu perlu cermat memperhatikan kesesuaian epistemologi dan efektivitas pada kelompok ilmu lain. Namun, pesona PBL tampaknya demikian kuat sehingga PTN seperti UI pun menerapkan PBL pada mata kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi (MPKT) bagi seluruh mahasiswa baru pada semester pertama. Masalahnya, kasus yang digunakan sebagai pemicu hampir semuanya adalah masalah sosial dan humaniora, seperti krisis pangan dan energi, UN dan kualitas pendidikan, kerusakan lingkungan, dsb.

Masalah ontologis dan epistemologis dari PBL yang dikembangkan pada disiplin ilmu kedokteran itu dapat diidentifikasi, yakni penyakit medis baru terus muncul dan sangat beragam sedangkan penyakit kepribadian manusia sejak dulu hingga kini pada dasarnya relatif sama (ketidakjujuran dan turunannya). Pengetahuan yang terkonstruksi dalam ilmu kedokteran, dengan demikian, berbeda dari ilmu sosial dan humaniora. PBL yang diterapkan untuk disiplin sosial dan humaniora tampak tidak mencermati hal ini.

PBL 'asli' yang dikembangkan ilmu kedokteran menyimpan asumsi dan nilai aksiologis yang tidak semuanya tersurat sebab sudah dihayati dokter dan dokter-pengajar. Dalam menghadapi penyakit dan pasien, kesembuhan menjadi tuntunan dan tuntutan deontologis atau perintah mutlak bagi dokter dan ilmu kedokteran. Yang harus ditindak tuntas adalah sebab, bukan gejala penyakit.

Inilah yang agaknya berbeda pada kelompok ilmu dan ilmuwan lainnya terutama sosial dan humaniora. Akibatnya, ketika PBL diterapkan pada kelompok ini tidak dicapai ketuntasan dalam pemahaman masalah, analisis, dan tentu saja solusi dasarnya. Bobot MPKT yang 6 SKS, ditambah buku ajar yang tidak disunting isi dan bahasanya, terasa agak mubazir untuk mencapai tujuannya.

PBL plus

Masalah sosial dan humaniora sesungguhnya bisa disikapi serupa meniru dokter dan ilmu kedokteran. Tentu dengan lebih dulu menandai apa yang tidak tersurat itu, terutama yakni wujud metodologinya. Dibutuhkan metode yang dapat menelusuri akar penyebab masalah. Pada kelompok ilmu eksakta (hard sciences) lazim digunakan root cause analysis dan juga diagram tulang ikan (diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa pada 1960-an).

Untuk masalah sosial dan humaniora bisa digunakan metode analisis akar masalah dan solusinya (MAAMS), yang mencari sebab-dari-sebab sekaligus berpikir out of the box. Pengalaman mempraktikkan MAAMS di kelas ilmu sosial dasar sejak pertengahan 1990-an menunjukkan mahasiswa mampu memahami secara metodis bahwa banyak masalah sosial berakar pada korupsi (harta, takhta, cinta asmara, dan gabungannya) dan mengajukan solusi dasarnya. Maraknya korupsi pada bangsa ini merupakan indikasi banyaknya keterbelahan kepribadian.

PBL Plus, yakni MAAMS, dapat digunakan sebagai metode dan pendekatan pendidikan antikorupsi atau pendidikan kepribadian terintegrasi, baik melalui collaborative learning maupun individual learning. Konsistensi penguasaan kognitif tentang antikorupsi dengan sikap dan perilaku (terintegrasi), pada individu maupun sistem, merupakan modal pencepatan pencapaian tujuan konstitusional bangsa.

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger