Selasa, 02 Juni 2009

Paradox di Dunia Kerja, Bisnis, dan Pendidikan


Apakah artinya paradoks ? Menurut kamus Webster, paradoks berarti suatu pernyataan yang kelihatannya kontradiktif, sulit untuk dipercaya, kelihatannya mengada-ada, tetapi bisa jadi benar dalam kejadian sehari-hari. Definisi ini pulalah yang diadopsi oleh Charles Handy dalam bukunya “The Age of Paradox” yang diterbitkan oleh Harvard Business School Press pada tahun 1994. Charles Handy mengamati ternyata banyak sekali kejadian-kejadian di dunia ini, termasuk di dunia bisnis, bersifat paradoks.

Charles Handy mencontohkan sebuah paradoks di dalam produktivitas kerja. Produktivitas berarti hasil kerja yang memuaskan dari sekelompok kecil orang (better work from fewer people). Semakin sedikit orang yang mengerjakannya, dan jika mutu kerjanya sama atau meningkat, maka produktivitas dikatakan meningkat. Untuk apa produktivitas ditingkatkan ? Ternyata untuk menyenangkan pelanggan dan pertumbuhan perusahaan itu sendiri. Di mana letak paradoksnya ? Ternyata semakin tinggi produktivitas, semakin tidak menyenangkan bagi karyawan, karena ada karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja. Produktivitas yang tadinya diyakini mampu memperbaiki perusahaan, ternyata tidak begitu kejadiannya untuk karyawan. Di sinilah letak paradoksnya menurut Charles Handy.

Charles Handy mengungkapkan setidaknya ada sembilan paradoks yang ada di atas dunia ini. Saya tidak akan menguraikan satu per satu paradoks tersebut di sini, karena pada intinya adalah, ada suatu pertentangan antara yang diharapkan dengan apa yang terjadi. Salah satu contoh lainnya yang menarik adalah paradoks waktu (the paradox of time). Mengapa orang bekerja ? Supaya mendapatkan penghasilan dan dapat pergi berlibur atau bersenang-senang dengan uangnya tadi. Untuk mendapatkan uang semakin banyak, maka dia bekerja semakin keras. Sayangnya, Tuhan menyediakan waktu hanya 24 jam sehari. Apa jadinya ? Ternyata semakin keras dia bekerja, semakin banyak dia mendapatkan uang, tetapi akhirnya dia tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Paradoks bukan ? Ini dipertegas dengan paradoks pekerjaan (the paradox of work), di mana menurut Charles Handy, some people have work and money but too little leisure time, while others have only leisure time but no work and little money. Setujukah Anda ?

Nah, mari kita letakkan konteks paradoks ini untuk perusahaan. Situasi yang serba paradoks memaksa perusahaan untuk bersikap tanggap terhadap perubahan situasi dan fleksibel. Charles Handy berupaya untuk mengajak kita melakukan perbaikan di dalam perusahaan melalui beberapa pemikiran untuk mengatasi kondisi tersebut, yang kelihatannya juga paradoks.

Pertama, if it ain’t broke, fix it. Selama ini banyak orang yang percaya don’t change the winning team. Artinya, jika suatu perusahaan sudah mencapai kemajuan, maka jangan diutak-atik lagi strategi, sistem, struktur, serta hal-hal lain di dalam perusahaan tersebut. Perbaikan dilakukan apabila telah mencul persoalan. Tetapi Charles Handy berpendapat lain. Dia menyarankan, sebaiknya lakukanlah perbaikan sebelum persoalan itu muncul. Contoh bentuk implementasinya adalah, perbaikilah kompetensi karyawan Anda sebelum muncul persoalan yang menuntut kompetensi tersebut di dalam perusahaan, karena perbaikan pada saat muncul persoalan adalah suatu keterlambatan. Kelihatannya in juga paradoks, tidak ada masalah kok diperbaiki ?

Kedua, Charles Handy menawarkan konsep organisasi berbentuk donat (the doughnut organization). Selama ini banyak pimpinan perusahaan berpikir untuk menahan orang-orang terbaiknya. Misalnya, sebuah perusahaan konsultan manajemen berupaya untuk menahan konsultan terbaiknya di bidang business process reengineering. Tetapi pada kenyataannya, proyek konsultansi di bidang ini sangat jarang. Apa yang akan dilakukan oleh si konsultan business process reengineering jika proyeknya sedang tidak ada ? Jelas dia tidak produktif sama sekali.

Charles Handy menyarankan, walaupun orang ini adalah seorang konsultan handal, tetapi tidak perlu ditahan sebagai anggota tim inti (core) perusahaan konsultansi tersebut. Biarkanlah dia sebagai orang lepas, alias tidak orang inti perusahaan, walaupun dia orang hebat. Inilah prinsip organisasi berbentuk donat, di mana ada orang-orang inti perusahaan, dan ada pula orang-orang lepas yang hanya berbasis kontraktual temporer. Kelihatannya ini paradoks, konsultan handal kok tidak dibiarkan lepas begitu saja ?

Ketiga, banyak pimpinan perusahaan selama ini berupaya untuk menjaga ketenangan, kenyamanan, serta keharmonisan kerja. Ternyata hal ini tidak selalu membawa perusahaan ke arah produktivitas yang lebih baik. Mengapa demikian ? Sering demi ketenangan, demi kenyaman, dan demi keharmonisan kerja, ide-ide yang sifatnya radikal tidak dibiarkan tumbuh, sehingga perusahaan gagal untuk melakukan berbagai terobosan baru untuk perbaikan. Ini mirip dengan fenomena kodok rebus yang berada dalam comfort zone atau zona kenyamanan. Charles Handy menyarankan kepada perusahaan-perusahaan untuk selalu memikirkan berbagai hal baru (new thinking = reorganized company), yang barangkali dampaknya bisa menganggu zona kenyamanan tadi. Menurut Charles Handy, yang perlu dibangun adalah rasa saling mempercayai (trust), dan bukanlah suatu comfort zone.

Charles Handy juga memberikan perhatian khusus kepada pendidikan walaupun ini di luar konteks bisnis. Banyak orang yang mengirimkan anaknya pergi ke sekolah dengan harapan nanti anaknya memiliki bekal untuk menghadapi kehidupan di masa mendatang. Tetapi pada kenyataannya, sekarang banyak sekolah yang justru memisahkan anak didik dari lingkungannya. Sekolah tidak lagi berperan sebagai wadah supaya anak didik dapat beradaptasi dengan lingkungannya, melainkan mencabut si anak didik dari lingkungannya karena ekslusivitas sekolah tersebut. Charles Handy juga menganggap ini sebagai suatu paradoks. Menurut Charles Handy, saat ini sekolah harus mereformasi dirinya supaya tidak menjadi wadah untuk mencabut anak didik dari lingkungannya, melainkan sebagai wadah untuk mempercepat anak didik mengenali dan beradaptasi dengan lingkungannya.

Membaca pemikiran Charles Handy melalui bukunya “The Age of Paradox” menurut saya sangat inspiratif. Dunia sekarang banyak mengalami kejadian-kejadian paradoks, dan ternyata Charles Handy juga menawarkan solusi yang menurut pemikiran kita seakan-akan juga paradoks. Nah, bingung kan ? Salah Anda sendiri mengapa membacanya. Judul tulisan ini saja “Paradoks”. Salam.

PENDEKATAN ELEGAN PERUSAHAAN, MANAGER DAN KARYAWAN DALAM PENGUATAN DAYA SAING BISNIS


Makna terpenting tentang globalisasi adalah hampir tidak dibatasinya interaksi kehidupan antarmanusia, antarmasyarakat dan antarbangsa di dunia. Dengan mudahnya setiap entitas ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi berinteraksi dalam tempo yang relatif singkat. Disitu tidak mudah dihindari terjadinya saling mempengaruhi dan bahkan saling bersinergis antarunsur bisnis. Di sisi lain akibat logisnya adalah munculnya persaingan bisnis. Ubahan di satu sisi akan mempengaruhi sisi lain, termasuk di suatu perusahaan. Berbagai kemungkinan ubahan yang terjadi, khususnya pada perusahaan-perusahaan besar akan meliputi begitu banyaknya faktor seperti dalam hal karyawan, manajer, dan jejaring bisnis.

Dari sisi karyawan, jumlah karyawan, termasuk di jajaran manajemen, kemungkinannya akan semakin berkurang dengan semakin banyaknya teknologi pengganti manusia yang digunakan dan diterapkannya pola kemitraan kerja diantara karyawan yang semakin efisien. Begitu pula intervensi karyawan secara fisik dalam menghadapi pelanggan semakin berkurang karena semakin baiknya akses pelanggan terhadap kebutuhan yang diminta lewat alat teknologi informasi. Bagaimana dengan peran manajer?

Peran para manajer semakin otonom pada fungsi pendukung, membantu staf dalam memenuhi kebutuhan pelanggan, pengembangan staf dan membimbing mereka. Para manajer menempatkan posisi karyawannya sebagai mitra kerja ketimbang sebagai bawahan; karyawan dilibatkan dalam perencanaan bisnis, pengembangan gagasan, dan pengendalian mutu produk; jadi tidak ada istilah otoriter pada diri manajer.

Sementara itu jejaring interaksi bisnis antara perusahaan dan asosiasi pelanggan semakin unik dan intensif serta terbuka, khususnya dalam mengembangkan manajemen produk bermutu sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Konsentrasi perusahaan pada berbagai bentuk produk kemungkinan berubah ke bentuk spesialisasi produk dimana aliran suplai ke konsumen dipandang lebih potensial.

Gambaran perubahan dalam hal dimensi karyawan dan manajer serta jejaring bisnis di atas mengandung makna perusahaan membutuhkan kepemimpinan stratejik yang tidak saja menguasai aspek tehnik manajemen tetapi juga yang menguasai aspek humaniora dan politik serta berkemampuan membangun jejaring bisnis internasional. Kepemimpinan yang berorientasi masa depan atau visioner. Siap dengan segala resiko bisnis dalam menghadapi lingkungan global yang tidak pasti.

Semakin dituntutnya etika bisnis, perusahaan yang berhasil pada era global ini adalah mereka yang siap menghadapi persaingan namun tanpa berniat mematikan perusahaan lain atau elegan. Perusahaan akan menghindari dan tidak mendorong terjadinya persaingan brutal dengan perusahaan lain. Yang terpenting adalah mampu menghilangkan dan menghindari semua faktor pengganggu, menambah faktor yang sesuai dengan standar dan menjadi pionir dalam menciptakan keunggulan atau tampil beda dibanding dengan perusahaan lain. “Menghantam” perusahaan pesaing bukan zamannya lagi. Yang jauh lebih penting bagaimana tiap perusahaan melakukan pembenahan ke dalam atau semacam memperkuat keunikan kompetensi bisnis sebagi unsur keunggulan kompetitif.

Karena itulah perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sementara ini masih berada pada derajad persaingan yang rendah, harus memiliki kemampuan inovatif di berbagai bidang, antara lain: menerapkan kompetensi utama yang memiliki keunikan dan keunggulan serta tampil beda dibanding perusahaan lainnya; mengidentifikasi produk atau jasa yang paling dibutuhkan oleh pelanggan; mengidentifikasi dan mengembangkan metode pelayanan yang baru pada pelanggan; melakukan perbaikan dan menciptakan produk dan jasa yang dipasarkan; mengidentifikasi, membuat daya tarik dan memelihara pelanggan internal dan eksternal secara lebih efektif dengan membangun hubungan dengan pelanggan lebih kuat lagi; meningkatkan efisiensi produksi dengan resiko bisnis yang minimum; menerapkan sistem remunerasi yang menstimuli karyawan bekerja secara lebih produktif termasuk peluang karir; dan mengembangkan model pelatihan dan pengembangan sumberdaya manusia baik dalam hal pengembangan pengetahuan dan keterampilan maupun sikap (kecerdasan emosional dan spiritual).

Belajar dari dunia bisnis Jepang


Manajer adalah pemimpin perusahaan. Dia adalah leader sekaligus pengarah setiap kebijakan dalam sebuah bisnis. Umumnya dia mempunyai ruangan khusus, duduk di kursi besar, dengan telepon dan komputer di atas meja. Pakaiannya pun perlente (perkecualian untuk Pak Bob Sadino). Tapi tidak begitu dengan manajer di beberapa perusahaan di Jepang.

Berikut ini sekedar gambaran dunia usaha di Jepang yang saya kisahkan dari dua tempat saya melakukan kerja sambilan saat ini, karena harus membiayai kuliah.

Saya mulai bekerja di dua bisnis hampir secara bersamaan 8 bulan yang lalu. Keduanya adalah Mister Donut (MD), perusahaan franchise yang memiliki cabang di hampir seluruh kota di Jepang, dan Restoran Thailand berkelas menengah, Siam Garden (SG). Manajer MD di toko kami, seorang laki-laki kecil tetapi sangat gesit, sedangkan manajer saya di SG, seorang wanita yang tegas. Keduanya masih muda, berumur 30 tahunan.

Sebagai mahasiswa asing, saya diperkenankan bekerja selama 28 jam per minggu setelah mendapatkan surat rekomendasi dari kantor Imigrasi. Surat ini harus saya tunjukkan ketika melamar kerja.

Sebelum memulai kerja, saya mengikuti training. Sistem training di MD lebih rapih dan terkoodinir. Ini bisa dimaklumi karena MD adalah perusahaan besar. Hari pertama saya diminta memakai seragam MD dan diajak menonton video sejarah MD. Setelah itu Pak Manajer menunjukkan buku panduan peraturan bagi pekerja part time (arubaito), termasuk gaji. Sebagai trainee saya mendapat 800 yen per jam, plus transport 400 yen, dihitung sejak training. Gaji ini akan meningkat menjadi 850 yen setelah saya bekerja tanpa pembimbingan. Beliau juga memberikan buku panduan tentang pembuatan segala produk MD. Training hari itu berlangsung satu setengah jam, dengan PR saya harus menghafalkan kalimat perkenalan dalam bahasa Jepang yang sangat sopan, juga menghafal nama-nama donut.

Training ke-2 sekaligus dianggap kerja, dengan tugas pertama, membersihkan ruangan pelayanan hingga toilet, mengepel lantai, melap kaca jendela, plus menata meja, menyalakan semua mesin, termasuk mesin kasir, menata donut dan memasang harga2 nya. Saya bawa `krepekan` (contekan) karena belum hafal nama-nama donut yang ada lebih dari 20 jenis. Hari itu saya bekerja 2 jam, dari jam 06.15 hingga jam 08.15, dan tidak sendirian tapi dibimbing oleh seorang pekerja senior.

Training hari selanjutnya, tugas sama persis, dan masih didampingi. Pendampingan masih terus berlangsung hingga 5 kali training. Selama kurang lebih 3 bulan saya mengerjakan pekerjaan yang sama. Karena jadwal kuliah saya di kampus mulai jam 08.45, maka saya hanya bisa bekerja di MD hingga jam 08.15, itupun tidak setiap hari. Hanya 2-3 kali dalam seminggu.

Bulan ke-4 saya mulai diajak masuk ke dapur, dengan tugas topping/finishing donut. Bimbingan langsung dari Manajer yang kami panggil Tensyu (Kepala Toko). Jangan heran, manajer di MD tidak ada yang punya ruang khusus, duduk membaca surat atau mengecek internet, tetapi mereka berseragam sama dengan kami, mengadon dan memasak sendiri donut2nya, pun berlumuran tepung dan gula.

Ada hal berharga yang saya pelajari selama bekerja di MD. Salah satunya mengenai pelayanan kepada tamu. Business di Jepang terkenal sangat menomorsatukan konsumennya, ditandai dengan ucapan/teriakan `Irasshaimase…!` yang kira-kira artinya `Selamat Datang`. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa dengan kesopanan paling tinggi. Contohnya untuk mengucapkan `selamat makan`, dipergunakan kalimat `go yukkuri o meshi agari kudasaimase`, yang dalam percakapan sehari-hari kita bisa mengatakan `o meshi agari kudasai `, `tabete kudasai` atau `tabete` atau yang paling kasar `tabero` (ini untuk anak2). Kemudian jika tamu hendak pulang, ucapan `arigatou gozaimashita` dengan bungkukan 45 derajat. Tidak saja bagian pelayanan (kasir) yang melakukan hal tersebu, tetapi Tensyu dari dapur pun melakukannya. Antara dapur dan ruang pelayanan terdapat jendela kecil untuk menyetor donut atau berfungsi lain sebagai space untuk mengecek kerja bagian front, ketika tensyu sedang memasak di dapur.

Yang tidak kalah menarik, adalah ucapan `sumimasen` yang berarti `maaf` yang harus kita ucapkan ketika hendak mengambil sesuatu yang akan mengganggu pekerjaan yang lain, atau ketika melakukan kesalahan. Ini sekali lagi tidak diucapkan oleh pekerja saja, tetapi juga manajer. Ketika sudah agak lama bekerja di MD, dan merasa sudah akrab dg lingkungan bekerja, saya pernah memarahi Tensyu karena beliau salah menghitung donut, tetapi dia menyalahkan saya. Mungkin baru kali ini ada kejadian bawahan memarahi manajer. Untungnya beliau tidak balik marah, malah minta maaf.

Ada satu kebiasaan juga yang sebenarnya sangat dianjurkan dalam lingkungan kerja MD, yaitu ketika ada tamu datang, atau tamu pulang, atau ketika menyetor donut baru, kita harus berteriak dengan kalimat-kalimat tertentu yang tentu saja sangat sopan. Sampai saat ini, saya tidak mau mengikutinya. Bukan karena alasan malu, tetapi satu, karena capek bekerja sambil teriak, yang walaupun kata Tensyu, bekerja sambil teriak membuat kita bersemangat terus. Alasan kedua, saya masih memegang prinsip wanita tabu berteriak-teriak, apalagi saya berkerudung. Sewaktu saya menyampaikan alasan ini kepada Tensyu, beliau sangat memakluminya.

Berdiri selama 2,3, hingga 7 jam membuat donut adalah pekerjaan yang melelahkan, tetapi bagi saya ucapan `otsukaresama deshita` , `arigatou gozaimashita` ( sama-sama capek, terima kasih banyak) yang selalu diucapkan oleh pekerja yang lain bahkan dengan membungkuk 90 derajat ala Tensyu membuat segala kepenatan itu hilang. Apalagi sembari mengantar setiap pekerjanya hingga pintu, dan mengucapkan `itterashshai` (selamat jalan), `ganbatte kudasai` (belajar yang giat), membuat saya merasa MD adalah rumah saya. Mengingatkan saya kepada mamak yang selalu melambai dan berpesan `hati-hati di jalan` , `belajar yang rajin ` , setiap saya berangkat ke sekolah dulu.

Ucapan `otsukaresama deshita` pun disampaikan ketika tensyu menyerahkan slip gaji saya dalam amplop, tentu saja tetap dengan gaya membungkuk.

Lain MD lain pula SG. Karena sebagian chef di SG adalah orang Thailand, maka kebiasaan orang Asia Tenggara masih kental sekali. Seperti , bekerja sambil mengobrol, membawa pulang makanan (Di MD, donut yang tidak laku harus dibuang, demikian pula donut yang bentuknya aneh atau toppingnya salah. Staf tidak boleh mengambilnya apalagi membeli dengan harga diskon. Bagi para staf membeli donut di bagian pelayanan akan mendapatkan diskon 50%), atau jam istirahat yang seenaknya.

Di restoran ini saya bekerja sebagai tukang cuci piring. Pekerjaan ini sebenarnya tidak terlalu berat karena menggunakan mesin. Tapi jika tamu banyak, cucian segunung, tetap saja punggung mau patah rasanya.

Adab, bahasa yang sopan tidak terlalu diutamakan di SG. Antar pegawai terbiasa memanggil dengan nama secara langsung tanpa embel-embel `san` di belakang nama kita. Training pun tidak seketat di MD. Kepada saya hanya ditunjukkan cara menggunakan mesin dan selanjutnya langsung bekerja, dengan gaji 850 yen per jam dan biaya transport 600 yen.

Atmosfer bekerja yang berbeda sangat saya rasakan di kedua tempat ini. MD dengan adab kesopanannya, SG yang bergaya santai tetapi tetap saja penuh suasana kekeluargaan. Saya sangat terharu jika para chef tiba-tiba datang ke tempat saya, menawarkan makanan dengan sangat sopan atau bahkan membekali saya makanan untuk pulang. Mereka tahu saya mahasiswa yang jarang makan makanan enak dan mahal ala restoran. hehehe….tengkyu ! Tetapi keduanya memiliki manajer (orang jepang) yang berkarakter sama, yaitu ikut bekerja langsung. Manajer saya di SG bahkan menggantikan saya mencuci piring jika saya terlambat datang.

Banyak kasus yang dialami oleh pekerja muslim di Jepang, khususnya TK yang dikirim illegal oleh jasa TKI dari negara kita. Beberapa di antaranya larangan untuk puasa atau tidak ada jam sholat. Atau tidak ada tunjangan kesehatan. Alhamdulillah saya tidak mengalami ini di MD dan SG. Tensyu di MD bahkan memberi saya kesempatan istirahat lebih untuk sholat dhuhur, bahkan sewaktu ramadhan, dengan sangat prihatin berkali-kali beliau menyuruh istirahat. Manajer saya di SG pun sangat toleran dengan makanan yang saya boleh makan, hingga ada menu khusus sea food untuk saya yang muslim (saya bekerja malam hari di SG dan makan malam di sana).

Menurut saya, jika status kita jelas, maka peraturan yang berlaku untuk kita pun semuanya jelas, jika kita berada di Jepang, dan jangan khawatir hukum Jepang tidak memandang bulu, berlaku sama untuk orang manapun. Manajer yang perusahaannya terdaftar wajib mengikuti aturan ini, termasuk memberikan asuransi kepada pegawainya dan mengatur pembayaran pajak penghasilannya. Jika ada masalah, apapun masalahnya, asalkan mau dibicarakan dengan baik-baik, maka pasti ada jalannya.

Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA),TANTANGAN sekaligus ANCAMAN

Polemik boleh tidaknya perguruan tinggi asing beroperasi di Tanah Air terus berlangsung. Perbedaan pendapat dan sikap itu tak hanya terjadi di perguruan tinggi, tapi juga terjadi diantara pengambil kebijakan pemerintah. Kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) di Indonesia, memunculkan sikap yang bermacam-macam. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal ?Ical? Bakrie, saat pidato pertama kali seusai pelantikannya, menekankan perlunya liberalisasi pendidikan. Alasannya saat ini kompetisi dilakukan bukan lagi melalui otot atau fisik tapi melalui otak. Saat ini, kata Ical, hidup pada dunia generasi ketiga, yakni high technology, Karena itu, sudah saatnya pemerintah membuka diri terhadap perkembangan dunia teknologi, termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan, katanya. (harian sindo 12-03-06)

Peningkatan pendidikan dalam negeri, sebagian besar memang masih tertinggal jauh dengan perguruan tinggi asing. Meski, bukan kebetulan pula jika UGM beberapa waktu lalu masuk dalam 100 perguruan tinggi internasional terbaik dalam bidang seni dan humaniora. Sayangnya, prestasi itu belum di ikuti perguruan tinggi lainnya. Perlunya kehadiran PTA, tidak hanya karena faktor mutu pendidikan saja, namun yang tak kalah penting adalah faktor ekonomi, yakni penambahan devisa negara. Indonesia diperkirakan mengalami kerugian triliunan rupiah dalam setiap tahunnya akibat larinya para pelajar ke luar negeri. Kehilangan devisa itu ditambah efek domino akibat kehadiran para pelajar tersebut, seperti keuntungan di bidang pariwisata.

Deputi Pendidikan dan Aparatur Negara Menko Kesra Fuad Abdul Hamied mencatat, sedikitnya Rp. 3,7 Triliun habis di Australia akibat banyaknya pelajar Indonesia yang belajar di Negeri Kangguru itu. Sementara itu, di Inggris sudah mencapai Rp. 308 miliar. Uang sebesar itu sebenarnya bisa membuat puluhan perguruan tinggi, katanya dalam diskusi ?Internasionalisasi Perguruan Tinggi? di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dari data statistik, para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri dari tahun ke tahun terus meningkat. Di Australia ada sekitar 18 ribu, di Inggris 1.150 dan masih banyak lagi di Amerika, Timur Tengah dan Asia Tenggara sendiri. Saat ini sudah lebih dari dua ribu mahasiswa Indonesia berada di Malaysia dan Singapura. Fuad heran dengan masih kuatnya penolakan perguruan tinggi dalam negeri terhadap kehadiran PTA. Padahal kehadiran PTA bisa memacu kompetisi pendidikan di Indonesia, dan masyarakat memiliki perbandingan untuk menentukan pilihannya. Oleh karena itu perlu digulirkan wacana Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Masyarakat.

Kalangan perguruan tinggi, memang menanggapi kehadiran perguruan tinggi asing (PTA) secara beragam. Ada yang setuju dan ada yang menolak. Kehadiran PTA sangat dilematis bagi perguruan tinggi dalam negeri dan pemerintah. Satu sisi kehadirannya diperlukan agar devisa tidak hilang, tetapi disisi lain bisa mengancam perguruan tinggi dalam negeri. Sementara masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lebih, saat ini memilih PTA. Seharusnya kehadiran PTA menjadi tantangan bagi pelaku pendidikan di Indonesia, sehingga memunculkan semangan untuk terus memperbaiki kualitasnya. Bahkan kalangan DPR mengakui kehadiran PTA sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara Pemerintah lambat meresponnya. Selain itu pula mereka mengakui dan bisa memaklumi kualitas PTA dibandingkan perguruan tinggi dalam negeri. Wajar apabila para orangtua berloba-lomba menyekolahkan putra-putrinya ke luar negeri. Hal ini merupakan hak individu masyarakat untuk menentukan masa depan pendidikan putra-putri mereka.

SRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING

Seperti kita ketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari keamarin masih dianggap modern (sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology).

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.

Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.

SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya. Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training

Pembelajaran yang Efektif

Sejauh ini multimedia mampu mengubah pembelajaran secara drastis dan fundamental. Namun pertanyaannya adalah, kapan multimedia efektif digunakan dalam proses pembelajaran peserta diktat ? dan mengapa efektif ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita harus merniliki pemahaman yang menyeluruh tentang multimedia. Ketika membahas multimedia, biasanya yang kita maksudkan adalah gabungan alat-alat teknik seperti komputer, memori elektronik, jaringan informasi, dan alat-alat display yang dapat menyajikan informasi melalui berbagai format seperti teks, gambar nyata atau grafik dan melalui multi saluran sensorik. Hal ini analog dengan pernikiran jika kita menganggap komputer sebagai mesin tik misalnya. Padahal komputer jelas-jelas merniliki berbagai fungsi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mesin tik manual.

Beberapa kesalahan konsep mengenai multimedia dapat diringkas sebagai berikut :

1.Sebagian besar pengguna teknologi multi media masih menganggap multi media hanya sebagai alat penampil suatu materi yang akan disampaikan

2.Multimedia dipandang sebagai wahana yang selalu memberikan dampak positif pada pembelajaran.

3.Karena multimedia memanfaatkan banyak ragam media (audio, visual, animasi gerak, dll) maka serta merta akan menghasilkan proses kognitif yang banyak pula. Dengan bahasa sederhana dikatakan bahwa dengan memberikan banyak hal (teks, gambar, animasi, dll.) maka peserta didik akan mendapatkan lebih banyak.

Kembali pada topik terkemuka, sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan di atas hendaknya kita memaharni level-level pada multimedia. Secara keseluruhan, multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001) yaitu :

1.Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis ; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs).

2.Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.

3.Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs).

Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia dan mendapatkan efektifitas pemanfaatan multimedia pada proses pembelajaran.

Berikut ini dipaparkan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan multimedia. Pengaruh multimedia dalam pembelajaran menurut YG Harto Pramono antara lain :

a.Multi bentuk representasi

b.Animasi

c.Multi saluran sensorik

d.Pembelajaran non-linearitas

e.Interaktivitas.

1.Multi Bentuk Representasi

Yang dimaksud dengan multi bentuk representasi adalah perpaduan antara teks, gambar nyata, atau grafik. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemanfaatan multi bentuk representasi, informasi/materi pengajaran melalui teks dapat diingat dengan baik jika disertai dengan gambar. Hal ini dijelaskan dengan dual coding theory (Paivio, 1986). Menurut teori ini, sistem kognitif manusia terdiri dua sub sistem : sistem verbal dan sistem gambar (visual). Kata dan kalimat biasanya hanya diproses dalam sistem verbal (kecuali untuk materi yang bersifat kongkrit), sedangkan gambar diproses melalui sistem gambar maupun sistem verbal. Jadi dengan adanya gambar dalam teks dapat meningkatkan memori oleh karena adanya dual coding dalam memori (bandingkan dengan single coding).

Seseorang yang membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya yaitu : memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk representasi proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal.

Demikian juga ia memilih informasi yang relevan dari gambar, lalu membentuk image, dan mengorganisasi informasi visual yang dipilih ke dalam mental mode visual. Tahap terakhir adalah menghubungkan `model` yang dibentuk dari teks dengan model yang dibentuk dari gambar .Model ini kemudian dapat menjelaskan mengapa gambar dalam teks dapat menunjang memori dan pemahaman peserta didik.

Fitur penting lain dalam multimedia adalah animasi. Berbagai fungsi animasi antara lain : untuk mengarahkan perhatian peserta diklat pada aspek penting dari materi yang sedang dipelajari (tetapi awas, animasi dapat juga mengalihkan perhatian peserta dari topik utama), Menurut Schnotz dan Bannert (2003), pemahaman melalui teks dan gambar dapat mendukung pembentukan mental model melalui berbagai route (yang juga ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sebelurnnya atau prior knowledge).

Menurut model ini, gambar dapat menggantikan teks dan demikian pula sebaliknya. Model ini dapat juga menjelaskan perbedaan tiap-tiap individu dalam belajar menggunakan multimedia Beberapa hasil penelitian menunjukkan peserta diklat yang memiliki latar belakang pengetahuan sebelurnnya (prior knowledge) tinggi tidak memperoleh banyak keuntungan dengan adanya gambar pada teks, sedangkan peserta diklat dengan prior knowledge rendang sangat terbantu dengan adanya gambar pada teks.

Berarti bagi guru/fasilitator cukup jelas kapan menggunakan gambar pada teks dan kapan tidak menggunakannya. Tetapi perlu diingat juga bahwa pada dasarnya gambar sebagai penunjang penjelasan substansi materi yang tertera pada teks, jadi jangan sekali-sekali porsi gambar melebihi teks yang ada. Juga gambar harus relevan dan berkaitan dengan narasi pada teks.

2.Animasi

Menurut Reiber (1994) bagian penting lain pada multimedia adalah animasi. Animasi dapat digunakan untuk menarik perhatian peserta diklat jika digunakan secara tepat, tetapi sebaliknya anirnasi juga dapat mengalihkan perhatian dari substansi materi yang disampaikan ke hiasan animatif yang justru tidak penting. Animasi dapat membantu proses pelajaran jika peserta diklat banya akan dapat melakukan proses kognitif jika dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa animasi proses kognitif tidak dapat dilakukan. Berdasarkan penelitian, peserta diklat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, untuk menangkap konsep materi yang disampaikan.

3.Multi Saluran Sensorik

Dengan penggunaan multimedia, peserta diklat sangat dimungkinkan mendapatkan berbagai variasi pemaparan materi. Atau sebaliknya guru/fasilitator dapat menggunakan berbagai saluran sensorik yang tersedia pada media tersebut. Dengan penggunaan multi saluran sensorik, dimungkinkan penggunaan bentuk-bentuk auditif dan visual. Menurut basil penelitian, pemerolehan pengetahuan melalui teks yang menggunakan gambar disertai animasi, basil belajar peserta akan lebih baik jika teks disajikan dalam bentuk auditif dari pada visual.

4.Pembelajaran Non Linear

Pembelajaran non linear dirnaksudkan sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan materi-materi dari guru/widyaiswara, tetapi peserta diklat hendaknya menambah pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai somber ekstemal seperti narasumber di lapangan, studi literatur dari beberapa perpustakaan, situs internet, dan sumber-sumber lain yang relevan dan menunjang peningkatan diri. Berdasarkan suatu penelitian dikatakan bahwa tingkat pemahaman dengan sistem pembelajaran non linear merniliki hasil yang lebih baik dibanding peserta diktat mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan hanya dari fasilitator. Jadi tugas guru/fasilitator untuk dapat merangsang dan menciptakan suatu kondisi semangat menambah ilmu para peserta diklat dari berbagai sumber lain.

5.Interaktivitas

Interaktivitas disini diterjermahkan sebagai tingkat interaksi dengan media pembelajaran yang digunakan, yakni multimedia. Karena kelebihan yang dimiliki multimedia, memungkinkan bagi siapapun (guru/fasilitator dan peserta diklat) untuk eksplore dengan memanfaatkan detail-detail di dalam multimedia dalam menunjang kegiatan pembelajaran. Permasalahannya tinggal bagaimana aktivitas behavioristik terhadap multimedia memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (guru & peserta).

Menuju Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Perumusan yang demikian ini tampaknya menjadi keyakinan para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (the founding fathers) bahwa melalui pendidikanlah bangsa Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang cerdas. Bangsa yang cerdas diyakini akan menghasilkan bangsa yang mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani deklarasi “Education for All”. Berkaitan dengan deklarasi ini dan sekaligus juga sebagai wujud keseriusan Indonesia mensukseskannya, maka Indonesia telah mencanangkan Wajib Belajar 6 Tahun pada tahun 1984 dan 10 berikutnya, yaitu pada tahun 1994, Indonesia mencanangkan Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui Wajib Belajar 6 Tahun diharapkan anak-anak usia Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat menikmati layanan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Artinya, anak-anak usia SD dapat menyelesaikan pendidikan SD. Demikian juga halnya melalui pencanangan Wajib Belajar 9 Tahun diharapkan anak-anak usia SMP (13-15 tahun) dapat menyelesaikan pendidikan SMP.

Berbagai program yang diarahkan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun telah dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Berkaitan dengan hal ini, satu hal yang menjadi keprihatinan di berbagai negara adalah mengenai anak-anak yang karena satu dan lain hal terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SD sehingga mereka ini menjadi warga negara yang buta aksara. Demikian juga dengan anak-anak yang terpaksa tidak dapat menyelesaikan pendidikan SMP, maka mereka akan cenderung masuk ke dalam kelompok tenaga kerja kasar.

Hakekat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga negara dapat memenuhi haknya, yaitu setidak-tidaknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar (Wajib Belajar 9 Tahun). Untuk dapat mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.

Sebagai unit organisasi sosial terkecil, orang tua dari setiap keluarga tergugah dan terpanggil untuk setidak-tidaknya membimbing dan membelajarkan anak-anaknya, baik melalui pendidikan formal persekolahan, lembaga pendidikan non-formal, maupun melalui lembaga pendidikan informal. Mengirimkan anak untuk belajar melalui lembaga pendidikan sekolah sudah jelas yaitu mulai dari taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan lain hal, seorang anak tidak memungkinkan untuk mengikuti pendidikan persekolahan, maka orang tua dapat mengirimkan anaknya untuk mengikuti kegiatan pembelajaran pada pendidikan non-formal, seperti Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA. Seandainya seorang anak tidak memungkinkan juga mengikuti pendidikan melalui pendidikan formal dan non-formal, maka masih ada model pendidikan alternatif yang dapat ditempuh, yaitu “Sekolah di Rumah” (Home Schooling). Dalam kaitan ini, orang tua dapat mengidentifikasi lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan atau unit-unit pendidikan prakarsa anggota masyarakat yang menyelengggarakan “Sekolah di Rumah” dan kemudian mengirimkan anaknya untuk mengikuti pendidikan di lembaga atau unit pendidikan tersebut. Atau, orang tua sendiri dengan latar belakang pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, dapat membimbing dan membelajarkan anak-anaknya sehingga pada akhirnya sang anak dapat mengikuti ujian persamaan (Upers), baik pada satuan pendidikan SD, SMP atau SMA.

Pada satuan lembaga, baik yang sepenuhnya bernafaskan pendidikan maupun yang tidak, hendaknya memiliki komitmen yang sama yaitu untuk membelajarkan anak-anak dari orang tua yang bekerja pada masing-masing lembaga. Bentuk komitmen dari lembaga tidak harus dalam bentuk penyelenggaraan pendidikan tetapi dapat saja dalam bentuk beasiswa. Bagi lembaga industri atau perusahaan, bentuk komitmennya dapat saja dalam bentuk pemberian beasiswa atau berfungsi sebagai orang tua asuh setidak-tidaknya bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja di industri atau perusahaan.

Apabila semua komponen bangsa bergerak serempak bagaikan sebuah orkestra, masing-masing komponen bangsa memberikan yang terbaik yang ada padanya demi pencerdasan kehidupan bangsa, maka tidak akan diragukan lagi bahwa orkestra akan menghasilkan/ memberikan lagu yang terbaik (the best). Analoginya di bidang pendidikan, bahwa melalui gerakan masyarakat, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri menerapkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka penuntasan wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun akan dapat lebih cepat tercapai.

Seiring dengan rencana alokasi anggaran untuk sektor pendidikan pada APBN Tahun 2009 sebesar 20%, tentunya diharapkan akan dapat lebih mempercepat penuntasan Wajib Belajar 6 dan 9 Tahun serta terbuka kemungkinan untuk mempersiapkan pencanangan Wajib Belajar 12 Tahun. Dengan menjadikan pendidikan sebagai gerakan masyarakat dan ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi serta komitmen untuk mewujudkan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan”, maka dalam beberapa tahun ke depan diharapkan hasil atau dampaknya dalam bentuk keunggulan kompetetif akan dirasakan secara nasional dan juga diapresiasi secara regional/internasional.

Aspek Pengembangkan Pendidikan Kecakapan Hidup

Tidak berhenti sampai pada satu titik tertentu, dimana lulusan pendidikan kecakapan hidup atau Life skill harus terus mampu mengembangkan potensi, bersikap proaktif dan produktif dengan kreativitas yang tinggi, oleh karena itu pengembangan dalam pendidikan kecakapan hidup harus terus dilakukan, menginggat kecakapan hidup menjadi kunci keberhasilan kemandirian hidup dan memberi solusi untuk setiap persoalan yang ada didalam kehidupan.

Untuk itu pengembangan pendidik kecakapan hidup haruslah dilakukan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pendidikan life skill, yang meliputi pada kecakapan diri, (personal skill) kecakapan sosial (social skill) kecakapan akademik (akademic skill) dan Kecakapan Bekerja

Kecakapan Diri merupakan kecakapan seseorang dalam memahami (kesadaran diri), mengatur dan memotivasi diri sendiri. Kecakapan Sosial atau kecakapan antar personal mencakup antara lain kecakapan berkomunikasi dengan empati dan kecakapan membina hubungan/ bekerjasama. Empati merupakan sikap penuh pengertian terhadap orang lain, sehingga berkesan baik dan dapat menumbuhkan hubungan yang harmonis. Kecakapan Akademik meliputi kecakapan membaca, menulis, berhitung dan kecakapan lain yang umumnya dipelajari disekolah. Kecakapan Bekerja adalah kecakapan yang berkaitan dengan keterampilan kerja. Keterampilan kerja ini merupakan bekal yang selayaknya dimiliki seseorang agar dapat hidup berguna dan mandiri secara ekonomi. Pada tulisan ini, penulis akan lebih fokus pada dua kecakapan hidup, yaitu Kecakapan Diri (personal skill) dan Kecakapan Sosial (social skill). http://tumbuh-kembang-anak.blogspot.com/

Pendidikan ‘Life Skills’ Solusi Efektif Atasi Pengangguran

Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 persen per tahun bukan saja merupakan lampu kuning bagi pemerintah, lantaran laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Belum lagi jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih tinggi. Problem yang muncul dari pengangguran dan setengah pengangguran tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi dan ketenagakerjaan, tetapi mempunyai implikasi lebih luas, mencakup aspek sosial, psikologis, dan bahkan politik. Apabila jumlah pengangguran dan setengah pengangguran cenderung meningkat, akan berpengaruh besar terhadap kondisi negara secara keseluruhan, antara lain meningkatnya jumlah penduduk miskin.

Jika pada tahun 2005 lalu berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik angkatan kerja menganggur 10,26 persen, namun pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. “Angka itu berasal dari 1,6 juta pengangguran baru, menambah jumlah pengangguran yang sudah ada sebesar 11 juta,” kata Koordinator Tim Peneliti Prospek Perekonomian Indonesia 2007 Pusat Penelitian Ekonomi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) M Tri Sambodo.

Menurut Tri Sambodo, angka 1,6 juta pengangguran itu berasal dari angkatan kerja yang tidak tertampung oleh kesempatan kerja pada 2007 sebesar 1,4 juta orang. “Ini artinya, ujarnya, semakin besar angka pengangguran terbuka merupakan indikator meningkatnya angka kemiskinan.

Dengan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi mencapai skenario optimum yaitu 6,5 persen dengan tingkat serapan tenaga kerja hanya 218.518 orang untuk setiap pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen maka lapangan kerja tersedia hanya 1,4 juta orang. “Mereka yang tak terserap terpaksa menganggur dan menambah angka pengangguran,” kata Tri Sambodo. Memang, tambah dia, berbagai upaya telah dilakukan untuk menurunkan angka pengangguran itu, tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan.

Lantas apa upaya warga bangsa ini, karena kian hari pertambahan jumlah angkatan kerja semakin bertambah dan pengangguaran pun terus menumpuk? Nampaknya kurang efektifnya pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan kesempatan kerja baru mengindikasikan perencanaan perekonomian yang dilakukan sepertinya masih di atas kertas.

Salah satu upaya mengatasi pengangguran dengan mengarahkan pertumbuhan ekonomi tidak hanya sebagai instrumen menciptakan kesempatan kerja baru, tapi juga melakukan restrukturisasi angkatan kerja. Pemikiran ini dilandasi asumsi bahwa dari segi kuantitas, sebenarnya jumlah kesempatan kerja yang ada saat ini sudah mencukupi. Artinya, ia bisa menampung hampir semua angkatan kerja. Namun, itu tidak terwujud karena kesempatan kerja yang sebenarnya mencukupi itu ternyata terdistribusi secara tidak merata, tidak sesuai dengan peruntukannya, dan karena proses shifting.

Problem akan minimnya pengetahuan kebutuhan dunia kerja menyebabkan penyerapan lulusan pendidikan formal dan nonformal masih rendah. Oleh karena itu, pemerintah menjalin kerja sama dengan dunia usaha untuk menyinkronkan program pendidikan dan kebutuhan pasar kerja.

"Sinkronisasi program pendidikan dengan kebutuhan pasar kerja sangat mendesak. Upaya mendekatkan dunia pendidikan dengan dunia kerja harus dimulai sejak awal, sehingga pendidikan mampu menghasilkan tenaga siap kerja," kata Sekjen Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Harry Heriawan Saleh.

Terkait dengan hal tersebut, ditandatangani nota kesepahaman (MOU) tentang Keterpaduan Program Siap Kerja dan Pemahaman Hubungan Industrial bagi Siswa SMK atau Sederajat, Mahasiswa, dan Peserta Didik pada Satuan pendidikan Nonformal, masing-masing oleh Sekjen Depnakertrans, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Prof Suyanto, Phd serta Kadin Indonesia Anton Riyanto.

Kesepakatan tersebut mencakup tiga hal. Pertama, pemahaman dinamika hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha; kebutuhan pasar kerja; dan pengenalan peraturan- peraturan ketenagakerjaan.
Menurut Suyanto, MOU ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kompetensi lulusan program pendidikan formal dan nonformal. Apalagi pemerintah telah mencanangkan program three in one, yaitu pelatihan bersama, sertifikasi, dan penempatan. "Tujuannya, untuk memudahkan lulusan SMA dan SMK diterima di pasar kerja. Pada tahun 2007, kami memperkirakan ada 850.000 siswa SMK dan SMA yang lulus," ujar Suyanto.

Pada hematnya keberhasilan sistem pendidikan dapat dilihat dari kemampuan lulusannya menggunakan hasil pendidikan untuk hidup. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang baik seharusnya mampu memberikan bekal bagi lulusannya untuk menghadapi kehidupan atau memberikan life skills pada peserta didik. Logikanya, makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin tinggi pula peran yang dapat dimainkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Untuk menjawab tantangan tersebut, Depdiknas harus lebih menyempurnakan kurikulum agar dapat memberikan life skills pada siswa. Setidaknya sekitar 70 persen siswa membutuhkan pendidikan keahlian yang dapat dipergunakan untuk hidup. Sebab, dari total siswa yang bersekolah sejak SD hingga SLTA, hanya sekitar 30 persen yang akhirnya bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan persentase terbesar langsung harus terjun ke masyarakat.

Konsep life skills dalam pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru. Sebelumnya sudah ada konsep broad-based curriculum yang diartikan sebagai kurikulum berbasis kompetensi secara luas. Tujuannya, peserta didik dapat memiliki keahlian yang diperlukan oleh masyarakat.

Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekadar untuk menghidupi diri sendiri. Namun, persoalannya, bukan sekadar keterampilan, tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul-betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri. Namun, penyusunan kurikulum selama ini lebih berorientasi pada disiplin ilmu yang hanya mengedepankan kemampuan akademik, seperti fisika, kimia, dan biologi.

Program ini memang baik, tetapi sayangnya disiplin ilmu itu belum pernah dihubungkan dengan apa yang terjadi pada kehidupan sesungguhnya. Padahal kurikulum itu seharusnya life oriented. Pasalnya, kurikulum harus dapat memberikan kemampuan yang dibutuhkan anak untuk hidup.

Untuk mengadopsi life skills ke dalam kurikulum pendidikan, sekarang ini bergantung pada daerahnya. Misalnya, anak yang hidup di Jakarta, tentu akan berbeda life skills yang dibutuhkan dengan mereka yang hidup di Bali. Di Jakarta yang lebih banyak terlibat dalam perekonomian modern, misalnya, pertukangan tidak banyak mendapatkan tempat.

Yang jelas, penyelenggara pendidikan nasional, dalam hal ini Depdiknas harus bekerja lebih keras agar dapat memberikan pendidikan keahlian yang bisa dipergunakan untuk hidup pada peserta didik. Esensi pendidikan harus dapat memberi kemampuan untuk menghidupi diri yang bersangkutan, mengembangkan kehidupan yang lebih bermakna, dan kemampuan untuk turut memuliakan kehidupan.
"Paling tidak, karakter pendidikan yang menyebutkan bahwa pendidikan harus dapat memberikan kemampuan untuk menghidupi diri sendiri itu sejajar dengan gagasan Depdiknas untuk memasukkan life skills ke dalam pendidikan," ujar Prof Muchtar Buchori, tokoh pendidikan.

Pendidikan nonformal, menurut pendapatnya, sangat efektif untuk membantu mengatasi berbagai permasalahan yang melilit bangsa Indonesia, antara lain, besarnya angka pengangguran akibat kurang terampil. Salah satu langkah yang amat penting dalam mewujudkan masyarakat terdidik dan sejahtera dalam bidang pendidikan nonformal, program pendidikan life skills. Life skills ini pun menjadi primadona bagi PLS, karena menjadi tujuan utama pendidikan nonformal untuk meningkatkan kecakapan hidup masyarakat.

Program ini bertujuan meningkatkan keterampilan dan kecakapan hidup peserta didik, sehingga lulusannya menjadi tenaga terampil atau mampu berusaha mandiri. Kemandirian itu berbasis potensi unggulan daerah baik yang berspektrum pedesaan maupun perkotaan, serta berorientasi pada pasar lokal, nasional, dan global.Dengan demikian, katanya, kualitas, produktivitas dan pendapatan masyarakat kelompok sasaran baik di pedesaan maupun di perkotaan semakin meningkat.

Pemberian ketrampilan life skill pada kalangan remaja lulus sekolah SMU/SMK/MA, terlebih yang putus sekolah penting diberikan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kebanyakan dari mereka belum siap kerja, apalagi untuk siap hidup. Mereka perlu tambahan bekal kecapakan hidup, dan Yayasan Dharmais bekerja sama dengan pemerintah daerah memberikan kegiatan pelatihan life skills.

Pembekalan ketrampilan tersebut dikemas dalam program Pesantren Singkat Pelatihan Usaha Ekonomi Produktif (PSPUEP). Selain memberi berbagai ketrampilan juga diperkuat dengan pembekalan mental dan rohani. “Tujuannya agar kelak para santri putra dan putri selain siap menjadi SDM siap pakai tapi juga memiliki akhlak dan bermoral,” kata Ngatman dari Yayasan Dharmais.

Kegiatan ini, jelas Ngatman, dulunya dilakukan Yayasan Dharmais guna menyiapkan sekaligus menambah ketrampilan para transmigran ini, diikuti para remaja yang tidak bisa melanjuktan sekolahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena alasan ekonomi. Melalui pelatihan singkat ini, mereka dilatih untuk berinovasi, berkreasi, berprestasi, serta belajar bersosialisasi guna membangun kepercayaan baik kepada orang tua, sesama teman maupun masyarakat.

PSPUEP dilakukan di Bogor (Jabar), Kulon Progo (DI Yogyakarta), Magetan dan Bondowoso (Jatim), Kutai Timur (Kaltim), Jakarta Barat (DKI Jakarta). Pelatihan di enam tempat tersebut diikuti 800 orang peserta. PSPUEP Cimandala, Bogor menyerap 180 orang (80 putra dan 80 putri), Pengasih, Kulon Progo diikuti 160 orang (83 putra dan 77 putri), Takeran, Magetan sebanyak 160 orang (80 putra dan 80 putri), Pondok Pesantren Al Ishlah Bondowoso diikuti 80 orang (40 putra dan 40 putri), Pondok Pesantren Hidayatullah Sanggatta, Kutai Timur merekrut 80 orang peserta putra, dan di Pesantren Al kamal, Jakbar diikuti 160 orang (80 putra dan 80 putri).

Jenis ketrampilan yang diberikan kepada para peserta pelatihan, antara lain, jahit-menjahit dan bordir, tata boga, tata rias, sablon, anyaman bambu, sabut kelapa, nata de coco, pembuatan permen jahe, pembuatan tempe, pembuatan bakso, pembuatan saos tomat, pembuatan sepatu, pembuatan tas, pertukangan meubel, pembuatan con block, agrobisnis, mesin pendingin, dan otomotif.

“Melalui kegiatan yang positif dan membangun melalui aneka pilihan kegiatan tersebut remaja potensial tersebut bisa terbekali, tidak hanya sebatas pada pengetahuan saja, tetapi juga ketrampilan dan sikap kepribadian yang baik dan luhur. Kegiatan ini juga merupakan bukti dari tanggung jawab moral dari yayasan, ” kata Ngatman lagi.

Jika Yayasan Dharmais memusatkan kegiatan pelatihan life skils di “pesantren-pesantren”, sedangkan Yayasan Damandiri bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi negeri dan swasta, Sekolah Menengah Atas dan Pemerintah Daerah. Untuk wilayah timur yang dikoordinasikan meliputi Provinsi (Prov) Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali melalui LIPM (Lembaga Ilmu dan Pengabdian Masyarakat) Pascasarjana Universitas Airlangga. Untuk wilayah barat meliputi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Lampung, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Bengkulu dengan kooedinator Yayasan INDRA bersama P2SDM IPB (Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Institut Pertanian Bogor).

“Pada tahun 2006 koordinator berdasarkan kesepatakan antara Wakil Ketua I Yayasan Damandiri dengan Rektor Undip Semarang wilayah tengah dilimpahkan kepada LPM Undip, yang meliputi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta,” kata Dr Rohadi Haryanto, MSc, Asisten Administratur Bidang Program Khusus Yayasan Damandiri.

pelatihan life skills model Yayasan Damandiri menekankan pada pembinaan kewirausahaan kepada siswa SMA dan masyarakat sekitar kampus. “Program pengembangan SDM ini selain ditujukan untuk meningkatkan mutu akademis juga kepada para siswa terutama yang tidak akan melanjutkan kuliah dipersiapkan memiliki life skill, sehingga setelah lulus dapat melakukan usaha mandiri,” papar Rohadi.

Latihan untuk siswa, tambahnya, dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian materi pelajaran ekstra kurikuler. Pelaksanaannya dapat diberikan di kelas atau laboratorium dengan mendatangkan tenaga pengajar atau pelatih yang betul-betul mengusai bidangnya. Atau mengirim siswa ke tempat-tempat kursus atau mengikuti magang di perusahaan, pabrik amupun tempat kerja lainnya.

“Untuk pelaksanaannya Pimpinan sekolah melakukan pemilihan 20 orang siswa sebagai calon yang akan mengikuti pelatihan berdasarkan kriteria yang ditetapkan, seperti anak keluarga tidak mampu, sudah menduduki kelas 2 atau 3, tidak akan melanjutkan kuliah dan sebagian besar adalah perempuan,” terang Rohadi.

Sedangkan untuk kegiatan pengembangan kewirausahaan baik yang dilakukan terhadap siswa maupun masyarakat umum di sekitar kampus dengan melibatkan para mahasiswa yang telah duduk di semester VII.

Nampaknya dalam mengatasi masalah pengangguran mempengaruhi sisi supply dan demand tenaga kerja, adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Pada sisi demand, perlu diupayakan meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar mampu menyerap tenaga kerja. Pada sisi supply, perlu dihambat laju pertumbuhan angkatan kerja. Pada elemen laju pertumbuhan angkatan kerja, terkait di dalamnya soal laju pertumbuhan penduduk. Maka, pada sisi supply, hal yang perlu dilakukan adalah mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk dan laju angkatan kerja, memang ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

Pendidikan Antikorupsi Dan PBL Plus

Korupsi sudah diakui sebagai kejahatan luar biasa dan penyakit paling membahayakan bagi Indonesia. Bersama kolusi dan nepotisme, korupsi bahkan secara tepat ditempatkan sebagai akar dari semua masalah bangsa (Kwik, 2004).

Masalahnya, hingga kini tidak tampak adanya kesadaran publik tentang KKN sebagai akar masalah bangsa tersebut. KKN hanya dipahami sebagai salah satu saja dari sekian banyak masalah bangsa. Padahal, seandainya kesadaran ini timbul pada critical mass secara metodis, efek bola saljunya akan membawa perubahan signifikan bagi pencepatan pencapaian tujuan konstitusional bangsa.

Salah satu faktor penting bagi muncul tidaknya kesadaran publik adalah tersedianya publikasi informasi yang memadai, baik dalam hal substansi, pengemasan, maupun penyampaiannya. Secara substansial, kesadaran publik tentang KKN sebagai akar masalah terkamuflase oleh banyak masalah lain yang-–karena kemasan dan penyampaian publiknya--tampak lebih atau sama penting. Mungkin ini suatu kesengajaan karena pertimbangan lain atau sekadar ketiadaan pengetahuan. Yang patut diindahkan adalah kedua kemungkinan ini merugikan warga bangsa.

Pemahaman yang tepat dan metodis mengenai akar masalah itu, oleh seluruh anak bangsa, merupakan langkah strategis untuk membebaskan Indonesia dari korupsi serta mengatasi banyak masalah di ujung-ujung lain dari akarnya. Langkah strategis ini, yang semula di dalam ranah kognitif, perlu dikemas dalam sistem perubahan perilaku positif yang terencana yakni pendidikan antikorupsi, yang ditujukan bagi seluruh generasi anak bangsa, dengan mahasiswa sebagai prioritas.

Pendidikan antikorupsi yang dimaksud adalah cara berpikir dengan dua komponen pokok sebagai kesatuan. Pertama, cara berpikir yang berangkat dari masalah nyata yang dihadapi bangsa dalam skala besar ataupun kecil. Kedua, cara (methodos) berpikir yang menelusuri masalah dari pucuknya hingga didapat akar penyebab. Dengan penelusuran akar penyebab, analisis metodis seperti ini akan sampai pada solusi yang mengakar atau mendasar.

PBL

Untuk memenuhi maksud tersebut dibutuhkan metode pembelajaran yang sesuai. Metode pembelajaran yang dipicu dengan masalah faktual dan kontekstual dalam realitas kehidupan nyata, atau disimulasikan, dikenal sebagai PBL (problem-based learning) atau pembelajaran berdasarkan masalah. PBL semula dikembangkan di Kanada dan AS sejak 30 tahun lalu dalam pembelajaran ilmu kedokteran dan lalu keperawatan.

PBL dengan beberapa variannya lalu diterapkan pada pembelajaran banyak bidang ilmu lainnya. Lima tahun terakhir, perguruan tinggi di Indonesia dilanda demam PBL. Banyak website perguruan tinggi 'mengiming-imingkan' penggunaan metode PBL. Ada kesan, seakan-akan dengan menggunakan PBL ini, kualitas pembelajaran dan, akhirnya, kualitas lulusannya dijamin meningkat secara berarti. Padahal, efektivitas metode ini hingga kini masih terus dan harus dikaji.

Jika mengingat pengetahuan terkonstruksi dalam konteks dan habitus tertentu, penerapan PBL di luar itu perlu cermat memperhatikan kesesuaian epistemologi dan efektivitas pada kelompok ilmu lain. Namun, pesona PBL tampaknya demikian kuat sehingga PTN seperti UI pun menerapkan PBL pada mata kuliah pengembangan kepribadian terintegrasi (MPKT) bagi seluruh mahasiswa baru pada semester pertama. Masalahnya, kasus yang digunakan sebagai pemicu hampir semuanya adalah masalah sosial dan humaniora, seperti krisis pangan dan energi, UN dan kualitas pendidikan, kerusakan lingkungan, dsb.

Masalah ontologis dan epistemologis dari PBL yang dikembangkan pada disiplin ilmu kedokteran itu dapat diidentifikasi, yakni penyakit medis baru terus muncul dan sangat beragam sedangkan penyakit kepribadian manusia sejak dulu hingga kini pada dasarnya relatif sama (ketidakjujuran dan turunannya). Pengetahuan yang terkonstruksi dalam ilmu kedokteran, dengan demikian, berbeda dari ilmu sosial dan humaniora. PBL yang diterapkan untuk disiplin sosial dan humaniora tampak tidak mencermati hal ini.

PBL 'asli' yang dikembangkan ilmu kedokteran menyimpan asumsi dan nilai aksiologis yang tidak semuanya tersurat sebab sudah dihayati dokter dan dokter-pengajar. Dalam menghadapi penyakit dan pasien, kesembuhan menjadi tuntunan dan tuntutan deontologis atau perintah mutlak bagi dokter dan ilmu kedokteran. Yang harus ditindak tuntas adalah sebab, bukan gejala penyakit.

Inilah yang agaknya berbeda pada kelompok ilmu dan ilmuwan lainnya terutama sosial dan humaniora. Akibatnya, ketika PBL diterapkan pada kelompok ini tidak dicapai ketuntasan dalam pemahaman masalah, analisis, dan tentu saja solusi dasarnya. Bobot MPKT yang 6 SKS, ditambah buku ajar yang tidak disunting isi dan bahasanya, terasa agak mubazir untuk mencapai tujuannya.

PBL plus

Masalah sosial dan humaniora sesungguhnya bisa disikapi serupa meniru dokter dan ilmu kedokteran. Tentu dengan lebih dulu menandai apa yang tidak tersurat itu, terutama yakni wujud metodologinya. Dibutuhkan metode yang dapat menelusuri akar penyebab masalah. Pada kelompok ilmu eksakta (hard sciences) lazim digunakan root cause analysis dan juga diagram tulang ikan (diperkenalkan oleh Kaoru Ishikawa pada 1960-an).

Untuk masalah sosial dan humaniora bisa digunakan metode analisis akar masalah dan solusinya (MAAMS), yang mencari sebab-dari-sebab sekaligus berpikir out of the box. Pengalaman mempraktikkan MAAMS di kelas ilmu sosial dasar sejak pertengahan 1990-an menunjukkan mahasiswa mampu memahami secara metodis bahwa banyak masalah sosial berakar pada korupsi (harta, takhta, cinta asmara, dan gabungannya) dan mengajukan solusi dasarnya. Maraknya korupsi pada bangsa ini merupakan indikasi banyaknya keterbelahan kepribadian.

PBL Plus, yakni MAAMS, dapat digunakan sebagai metode dan pendekatan pendidikan antikorupsi atau pendidikan kepribadian terintegrasi, baik melalui collaborative learning maupun individual learning. Konsistensi penguasaan kognitif tentang antikorupsi dengan sikap dan perilaku (terintegrasi), pada individu maupun sistem, merupakan modal pencepatan pencapaian tujuan konstitusional bangsa.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Wedding Gowns. Powered by Blogger